Rapor 100 Hari PSSI Era Djohar Arifin


Tanpa terasa kepengurusan PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman telah berjalan 100 hari. Sayang, gebrakan yang dilakukan oleh "kabinet" Djohar-Farid justru dinilai banyak kalangan lebih banyak berjalan di luar jalur semestinya.

Djohar terpilih pada Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang digelar di Solo, 9 Juli 2011. Djohar yang mendapat limpahan suara dari pendukung pasangan George Toisutta dan Arifin Panigoro mengalahkan rival beratnya, Agusman Efendi.

Di posisi wakil ketua, pendukung setia AP-GT yang tergabung dalam Kelompok 78 kembali sukses. Calonnya, Farid Rahman, secara meyakinkan sukses memenangkan pemilihan dengan menyingkirkan Erwin Aksa. Sebelum masuk PSSI, Farid lama menjabat sebagai Direktur Utama lalu Komisaris Bank Saudara, bank milik pengusaha-politisi Arifin Panigoro.

Banyak janji yang diungkapkan oleh Djohar sesaat setelah ia terpilih. Salah satunya adalah membentuk kepengurusan yang ramping dan efektif. Janji lainnya adalah membenahi kompetisi agar mampu berjalan lebih profesional.

Selain itu Djohar juga berjanji akan mengaudit keuangan PSSI. Tak tanggung-tanggung, mantan staf ahli Menpora itu berjanji akan melibatkan auditor dari luar negeri untuk menciptakan sistem yang transparan.

Namun di tengah-tengah harapan besar para pecinta sepak bola tanah air, Djohar justru mengeluarkan keputusan kontroversial. Hanya empat hari setelah terpilih, Djohar secara mengejutkan memecat pelatih Timnas, Alfred Riedl.

Djohar beralasan bahwa pelatih asal Austria tersebut tidak pernah menandatangani kontrak resmi dengan PSSI. Keputusan ini sontak dikecam berbagai kalangan. Riedl saat diwawancara VIVAnews menilai keputusan ini kental dengan aroma politik. Riedl yakin dirinya disingkirkan karena dianggap bagian dari pengurus lama.

PSSI sebenarnya sempat bertemu dengan Riedl untuk menyelesaikan masalah ini. Namun Riedl lagi-lagi kecewa karena dalam pertemuan tersebut PSSI malah mengancam akan menyeretnya ke jalur hukum. PSSI menuding Riedl telah menandatangani kontrak ganda dengan pengurus PSSI sebelumnya.

Tak puas, Riedl lantas mengadukan nasibnya kepada FIFA. Mantan pelatih timnas Laos itu menuntut agar PSSI segera membayar sisa kontrak yang mencapai 10 bulan gaji. FIFA telah menyurati PSSI agar masalah ini segera diselesaikan.

Sebagai pengganti Riedl, Djohar pun menunjuk mantan pelatih PSM Makassar, Wim Rijsbergen. Pelatih asal Belanda itu diberi tanggung jawab untuk menangani Bambang Pamungkas cs.

Kehadiran Wim di tubuh timnas kembali diwarnai kontoversi luas usai Timnas menelan kekalahan dari Bahrain pada babak penyisihan Pra Piala Dunia (PPD) 2014. Sikap Wim yang terkesan menyalahkan para pemain sempat membuat suanana di Timnas menjadi tidak kondusif. Beberapa pemain bahkan mengancam mogok bila masih ditangani Wim.

Kemampuan Wim dalam meramu strategi juga jadi sorotan. Ini setelah Indonesia menelan tiga kekalahan beruntun di penyisihan Grup E PPD 2014, masing-masing saat melawan tuan rumah Iran (0-3), Bahrain (0-2), dan lawan Qatar (2-3).

Kemelut tak berkesudahan ini mulai berimbas pada animo masyarakat dalam mendukung penampilan Timnas. Ini terbukti dari minimnya angka penjualan tiket saat Indonesia menjamu Qatar, di Stadion Gelora Bung Karno, 11 Oktober lalu.

"Selama dua tahun bekerja sama dengan PSSI, baru kali ini penjualan tiket sesepi ini," kata Shinta, Manajer Marketing RajaKarcis, rekanan PSSI dalam penjualan tiket.

Kondisi semakin parah setelah pendukung setia Persija, The Jakmania, secara resmi memboikot laga ini. Mereka memilih menyaksikan laga di layar kaca sebagai bentuk protes atas kebijakan PSSI terkait dualisme pengelolaan Persija.

Terkait dengan susunan kepengurusan, Djohar juga gagal mewujudkan janjinya. Komposisi pengurus yang ditetapkannya melalui surat bernomor SKEP/26/JAH/IX/2011 pada 21 September 2011, justru jadi lebih gemuk dari era sebelumnya. Setidaknya, terdapat 115 personel yang duduk berjejal-jejal di kepengurusan Djohar-Farid. Masing-masing tersebar di 17 komite dan tiga komisi. 
6 tim gratisan
Badai kritik yang menerpa kepengurusan Djohar-Farid semakin membesar saat bersinggungan dengan format kompetisi musim 2011-12. PSSI kembali menjadi bulan-bulanan saat nekat merombak total format liga yang sudah berjalan.

Awalnya, PSSI ingin memverifikasi ulang tim-tim yang akan tampil di kompetisi profesional musim ini. Dalihnya semula adalah agar tim yang berlaga di liga tertinggi ini bisa memenuhi syarat yang ditetapkan AFC untuk tampil di Liga Champions Asia.

Ada lima aspek yang disyaratkan untuk dipenuhi lub-klub Divisi Utama dan Liga Super Indonesia (ISL) agar layak disebut tim profesional. Itu meliputi aspek: legal, keuangan, infrastruktur, SDM, dan supporting.

PSSI, sebagaimana dinyatakan Ketua Komite Kompetisi Sihar Sitorus, juga berniat membagi kompetisi menjadi dua bagian, yakni Liga I dan Liga II. Liga I akan dibagi dalam dua wilayah dengan proyeksi jumlah kontestan sebanyak 36 klub.

Tapi, dalam rapat Exco, format ini kembali berubah. Djohar mengatakan pihaknya akan mengikuti format liga yang digariskan Statuta PSSI. Artinya, tim-tim yang berlaga di liga level tertinggi akan tetap diikuti oleh 18 tim saja.

Apa lacur, keputusan ini tak bertahan lama. Meski keras ditentang beberapa anggota Exco, Djohar meralat keputusannya dan menambah jumlah peserta Indonesia Premier League (IPL)--begitu pengurus PSSI menamainya--menjadi 24 tim. Rinciannya: 14 tim peserta ISL, 4 tim promosi, dan 6 tim tambahan yang ditentukan begitu saja oleh pengurus PSSI.

Selain jadwal yang begitu panjang dan padat, banyak pihak yang tidak menerima alasan penunjukan 6 tim tambahan itu. Banyak yang menuding ini semata-mata akal-akalan Djohar-Farid untuk mengakomodir kepentingan klub-klub yang sebelumnya terlanjur berlaga di Liga Primer Indonesia (LPI). Seperti telah diketahui, LPI sendiri dihentikan begitu saja di tengah jalan, sebelum musim kompetisi tuntas berakhir.

Keenam klub dimaksud adalah PSMS Medan, Persebaya Surabaya, Bontang FC, Persibo Bojonegoro, Persema Malang, dan PSM Makassar. Tiga tim terakhir pada musim lalu bermain di LPI.

Anggota Exco PSSI La Nyalla menentang keputusan ini. Dia dengan terang-terangan menuding PSSI punya maksud terselubung di balik penunjukan keenam tim tersebut. Apalagi, alasan PSSI mengikutkan PSMS dan Persebaya dengan alasan adanya permintaan sponsor, tidak tercantum dalam Statuta PSSI.

"Terkait alasan 'kota ikon' (Persebaya dan PSMS Medan), bisa jadi untuk kepentingan sponsor. Tapi, tidak ada dalam statuta yang membahas kota ikon," ujar La Nyalla.

Anggota Exco PSSI lainnya, Robertho Rouw, juga mengecam kebijakan Djohar-Farid. Menurutnya, PSSI terlalu mengedepankan unsur bisnis dalam menetapkan jumlah peserta Liga.

"Mereka hanya berpikir soal bisnis. Dengan pertandingan banyak, maka banyak yang bisa dijual dan menguntungkan mereka. Mereka melupakan kemampuan klub dan pemain. Padahal klub harus berjuang mengeluarkan dana lebih karena mengikuti jumlah pertandingan yang banyak itu," ujarnya.

Selain La Nyalla dan Robertho Rouw, masih ada satu lagi anggota Exco PSSI yang menolak keputusan PSSI terkait kuota tim Liga Super. Dia adalah Toni Apriliani yang merupakan Wakil Ketua Bidang Kompetisi.

Mayoritas klub protes
Di tengah banyaknya protes, Djohar tetap bergeming. Sikap ini pun akhirnya menimbulkan perpecahan saat Managers' Meeting digelar di Hotel Ambhara, Blok M, pekan lalu. Tim-tim yang menentang kebijakan PSSI bergabung dalam Kelompok 14. Mereka adalah Persebaya, Sriwijaya FC, Persipura, Persidafon, Persiwa Wamena, Persiba Balikpapan, Persela, PSPS Pekanbaru, Semen Padang, Deltras Sidoarjo, Persisam Samarinda dan Pelita Jaya. Tim-tim ini mempersoalkan format dan pengelolaan liga oleh PT Liga Prima Sportindo bentukan PSSI baru.

Mereka menuntut agar liga kembali dikelola oleh PT Liga Indonesia, sesuai dengan amanat dan ketetapan Kongres II PSSI 2011 di Bali. Mereka juga mendesak agar komposisi saham perusahaan pengelola liga tetap seperti yang telah diputuskan di Kongres Bali itu, yakni 99 persen untuk klub dan 1 persen PSSI. Kelompok 14 bahkan mengancam akan menggelar liga sendiri dan tidak ikut berlaga di IPL 2011-12.

Meski banyak diprotes, PSSI berkukuh membuka IPL Sabtu kemarin, 15 Oktober 2011, dengan dengan pertandingan Persib Bandung melawan Semen Padang yang berakhir 1-1.

"Saya sedih dan malu lihat kepengurusan sekarang. Mereka ini kaya enggak ngerti bola. Pengurus yang dulu dibilang jelek, tapi yang sekarang lebih jelek lagi," ujar Rahim Sukasah, Direktur Teknik Pelita Jaya. "Kami tetap ikut Kelompok 14. Kompetisi itu sudah normal tahun lalu, yang jelek cuma wasitnya. Tapi, kenapa diganti seperti ini?"

Protes Rahim senada dengan pendapat Jacksen F Tiago, Pelatih Persipura Jayapura, sang juara bertahan Liga Super (ISL). "Jadwal yang dikeluarkan PSSI sangat tidak masuk akal dan merugikan, terutama secara teknis. Yang pasti, sejak awal PSSI tidak konsisten dengan aturan dan melukai rasa keadilan klub-klub ISL," kata Jacksen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar