Ladang Pembantaian Bernama Sepakbola Indonesia

Wajah sepakbola kita sepertinya dari waktu ke waktu semakin menuju ke tempat yang semakin gelap. Konflik di tubuh PSSI tidak hanya menimbulkan gugatan dan tidak ada wibawanya PSSI, namun juga melahirkan dua kompetisi sepakbola nasional, IPL dan ISL. Dampaknya tim nasional yang terbentuk tidak ideal, karena masalah pengakuan kompetisi yang sah dan tidak. Pemain yang dianggap berada pada kompetisi yang tidak diakui oleh PSSI tidak akan dipanggil. Kondisi sepakbola kita semakin parah ketika dalam setiap pertandingan, tidak sekadar muncul keonaran, namun juga menjadi ‘ladang pembantaian’ penonton atau pendukung salah satu kesebelasan.

Kematian 3 orang selepas pertandingan Persija dan Persib, pada Minggu, 27 Mei 2012, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, bukan kasus yang pertama dari ladang pembantaian itu. Kasus serupa pernah terjadi saat final cabang sepakbola SEA Games XXVI, antara Indonesia melawan Malaysia, di mana 2 orang meninggal dunia. Kedua pendukung Indonesia itu meninggal dunia karena terinjak-injak saat antre masuk ke stadion Gelora Bung Karno di sektor XV.

Beberapa waktu yang lalu, ketika hendak mendukung Persebaya yang sedang tandang lawatan dalam LPI melawan Tangerang Wolwes, ke Tangerang, Banten, juga terjadi insiden. Di Lamongan, Jawa Timur, Bonek melakukan tindakan kriminal dengan menggeroyok 2 warga Lamongan yang berakibat satu mengalami kematian, satunya mengalami kritis. Dan masih banyak kasus serupa yang juga berujung kematian. Pendukung PSIS pun pernah mengalami hal yang demikian.

Dari kasus yang terjadi sepertinya aparat yang berwenang dan PSSI tidak pernah belajar untuk bagaimana kasus serupa tidak terjadi. Berbeda dengan FA dan UEFA, badan sepakbola Inggris dan Eropa, di mana setiap kasus yang pernah terjadi segera diinvestigasi agar tidak terulang. Terbukti, Tragedi Hillsborough dan Tragedi Heysel, tak terulang di Inggris dan Eropa. Kasus itu tak terulang karena baik FA, UEFA, dan FIFA, tegas dalam menegakan aturan. Akibat Tragedi Heysel, kesebelasan-kesebelasan yang bernaung di FA dilarang bermain di pertandingan internasional selama 5 tahun. Hal inilah yang mendorong FA maupun kesebelasan-kesebelasan di Inggris untuk membina pendukung sepakbola mereka.

Tragedi Hillsborough adalah tragedi yang mengakibatkan kematian para penonton sepakbola dalam pertandingan Sheffield Wednesday FC melawan Liverpool FC, 15 April 1989, di Hillsborough, akibat penuhnya stadion sehingga penonton berdesak-desakan. Aklibat peristiwa itu 96 pendukung Liverpool meninggal dunia.

Sedang Tragedi Heysel, 29 Mei 1985, saat final Champions Cup antara Liverpool dan Juventus FC. Korban meninggal terjadi akibat hooligan Liverpool menyerbu tifosi Juventus. Akibat peristiwa ini sebanyak 39 orang meninggal dunia dan 600 lebih lainnya luka-luka.

Kasus-kasus kematian dalam pertandingan sepakbola di Indonesia selalu terulang sebab aparat yang berwajib dan PSSI tak serius menangani kasus yang ada. AFC dan FIFA sepertinya emoh mengurusi sepakbola di Indonesia yang mungkin dianggap sepakbola Indonesia tak ada manfaatnya bagi perkembangan sepakbola di Asia maupun dunia. Ketika kematian 2 pendukung kesebelasan Indonesia saat final ASEAN Games, ada berita AFC dan FIFA hendak mengusut kejadian itu, tapi sampai sekarang mana laporannya?

Mengapa kematian dalam pertandingan sepakbola di Indonesia terulang dan akan terulang lagi apabila pertandingan-pertandingan yang mempertemukan kesebelasan-kesebelasan di mana pendukungnya bermusuhan? Hal demikian terjadi karena, pertama, malasnya aparat keamanan, polisi, dalam mengusut masalah-masalah yang ada. Polisi selalu berdalih ini merupakan amuk massa sehingga sulit diidentifikasi pelakunya. Akibat malasnya aparat menginvestigasi masalah membuat pendukung sepakbola yang tak bertanggungjawab akan selalu melakukan demikian dengan ramai-ramai. Paling yang dilakukan oleh polisi adalah selepas melakukan kerusuhan, mereka hanya diamankan kemudian diberi pengarahan setelah itu dipulangkan.

Kedua, PSSI tidak tegas atau tidak mau memberi sanksi ketika kesebelasan (klub) yang mempunyai tanggungjawab terhadap tempat pelaksanaan dan pendukungnya bila melakukan tindakan yang melanggar hukum. Hal demikian bisa terjadi karena adanya perkoncoan antara pengurus sepakbola itu dengan orang-orang PSSI. Perkoncoan ini bisa terjadi, misalnya saat Kongres PSSI, pengurus sepakbola memilih dirinya menjadi Ketua Umum PSSI. Timbal baliknya bila klub itu bermasalah, pasti tidak akan dikenakan sanksi oleh PSSI. Karena orang PSSI itu sudah merasa dibantu saat kongres. Contoh, entah karena perkoncoan atau bukan, pernah Bonek dihukum tidak boleh datang ke stadion, namun larangan itu dicabut sebelum masanya habis.

Ketiga, organisasi suporter yang bersangkutan melindungi oknum-oknum yang melakukan tindakan melanggar hukum. Biasanya organisasi suporter itu bila anggotanya melakukan pelanggaran hukum, selalu berdalih kami membela diri atau kami yang diserang duluan. Akibat dari perlindungan inilah yang membuat pendukung sepakbola selalu berulah terus, karena merasa nyaman atas pembelaan yang dilakukan.

Keempat, harga tiket yang murah sehingga semua orang bisa menonton pertandingan sepakbola. Murahnya harga tiket merupakan bagian dari mobilisasi pendukung sepakbola untuk menjadi pemain ke-12. Tak heran bila harga yang murah, stadion tak hanya penuh namum sampai membludak hingga ke pinggir lapangan. Hal demikian tentu bisa menjadi pematik kerusuhan.

Bila harga tiket mahal, tentu orang yang menonton sepakbola bukan orang sembarangan. Bukan sembarangan orang inilah yang membuat penonton bisa jadi akan lebih tertib. Contoh, saat pertandingan antara Internazionale Milan dengan Timnas maupun Liga Selection, penonton tertib, ini bisa jadi karena harga tiket mahal, sehingga tidak setiap orang bisa menonton pertandingan itu. Sehingga alangkah baiknya bila untuk menyeleksi penonton, harga tiket pertandingan dimahalkan, tujuannya untuk menjaga ketertiban dan lebih untuk mengendalikan massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar