Ngapain Ribet Sih

SEBAGAI pecinta sepakbola Tanah Air, Kita mungkin hanya bisa bertanya-tanya, mengapa polemik olahraga sejuta umat di Indonesia sepertinya tidak ada habisnya. Lepas masalah Kongres, PSSI kini dihadapkan pada persoalan tidak kalah pelik bernama Kompetisi. Belakangan, mereka nampaknya kesulitnya menyusun format idealnya.

Sebagai sebuah sistem fondasi dan jantung sepakbola, kompetisi merupakan indikator untuk melihat kemajuan sepakbola di suatu negara. Dari kompetisi, diharapkan lahir pemain berkualitas yang mampu bersaing di level dunia, bukan hanya sebagai wadah dan parameter semata untuk mencermati perkembangan sepakbola, kompetisi pun menandai sebuah era baru menuju sepakbola industri.

Terlepas dari dua hal esensial tersebut, tujuan utama kompetisi bermuara untuk membentuk timnas yang tangguh baik di tingkat regional dan Internasional. Singkat kata, kompetisi merupakan entitas dan jati diri sepakbola. Tapi agaknya, induk sepakbola di Negri ini belum sepenuhnya mendedikasikan diri dan berkomitmen penuh untuk menggelar kompetisi yang sehat dengan iklim suportifitas tinggi serta taat aturan.

Banyak kesimpangsiuran terjadi yang membuat masalah kompetisi semakin runyam. Setelah mengagas ide dengan sistem dua wilayah, PSSI kembali mengubah sistem kompetisi ke dalam format satu wilayah. Institusi pimpinan Djohar Arifin Husin yang tengah mengejar deadline menghelat kompetisi paling lambat 14 Oktober, atau dua pekan mendatang kembali membuat keputusan kontroversial.

Maklum saja menimbulkan perdebatan, karena PSSI kembali memasukkan tiga tim eks-Liga Primer Indonesia (LPI) yaitu Persema Malang, PSM Makassar, dan Persibo Bojonegoro ke dalam kasta tertinggi Liga Super Indonesia, yang terkesan terlalu diskriminatif dan dipaksakan.

Ini masih ditambah dengan langkah mereka mencantumkan nama PSMS Medan, Persebaya Surabaya dan Bontang FC yang notabene musim kemarin terdegradasi, diperbolehkan mengikuti proses verifikasi. Apalagi, keikutsertaan mereka dibarengi dengan berbagai alasan yang mengada-ada, seperti ikon kota sepakbola Indonesia, tradisi kental klub tersebut, permintaan sponsor dll. Keputusan PSSI menyertakan mereka, tentunya menimbulkan tanda tanya besar.

Masuknya ketiga klub yang musim lalu berkiprah di LPI tidak  menimbulkan pro-kontra di ruang publik. Kendati keanggotaan PSM, Persema, dan Persibo telah diputihkan, sejatinya mereka harus memulai kompetisi dari Divisi Satu, imbas dari jalan yang mereka pilih setelah angkat kaki dari Liga Super musim lalu.

Menggelembungnya jumlah peserta kompetisi dari 18 klub menjadi 24 dipastikan membuat dana yang dibutuhkan klub jelas membengkak. Ditakutkan, klub banyak klub berguguran di tengah jalan lantaran menanggung beban biaya operasional yang terlalu membumbung. Efek domino-nya, ‘obesitas’ ini jelas melunturkan semangat fair-play dan menghilangkan arti kompetisi.

Ada argument bahwa untuk mengubah jumlah peserta kompetisi harus melalui mekanisme Kongres. Pasal 23 ayat 1 huruf a statuta PSSI menuliskan sebanyak 18 klub peserta Liga Super adalah pemilik suara dalam kongres. Jadi jelas, PSSI tidak bisa sembarangan untuk mengubah tatanan peserta kompetisi.

Menarik benang merahnya, PSSI saat ini ibarat mobil yang melanggar rambu-rambu.Petinggi PSSI sebetulnya tidak perlu repot untuk menentukan jalannya roda kompetisi, tinggal menuruti aturan yang sudah tertera dalam statuta. Bahasa gampangnya, ngapain ribet, sih mentaati regulasi demi memajukan sepakbola Indonesia.

http://bola.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar