Barangkali di 2022

Wajar sematalah stadion Gelora Bung Karno hanya terisi sepertiga 
saja saat Indonesia melawan Qatar. Dan boleh jadi tanggal 15 November nanti, saat kita menjamu Iran, bangku-bangku di sana hanya diduduki tak lebih dari seperenam saja. Kita tidak hendak menyalahkan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan. Saya berpendapat: kita masih harus berbenah banyak sebelum berani bermimpi tampil di Piala Dunia. Saat kita dilibas Iran dan Bahrain segera kita mengetahui posisi kita sesungguhnya. Tidak ingin membenarkan Wim Rijsbergen yang saat itu berujar bahwa kita belum pantas bertanding di level internasional, tapi ada sisi-sisi kecil dari pernyataan itu mengandung kebenaran. Kita harus jujur mengakuinya. Barangkali ini langkah pertama sebelum kita menjejakkan langkah-langkah berikutnya. 
Sesungguhnya inilah yang sedang terjadi: kita memaksakan mimpi-mimpi kita yang luar biasa besar itu diwujudnyatakan oleh Pasukan Garuda. Begini. Kita bermimpi tampil di Piala Dunia. Hal lumrah sesungguhnya. Kita bangsa besar. Negeri kepulauan terbesar seantero jagad. Dan tentulah, kita di urutan keempat terbanyak jumlah penduduknya. Bukankah ini bisa kita jadikan pijakan pertama mewujudkan mimpi itu?

Olahraga dapat mendeskripsikan sebuah bangsa. Gelora Bung Karno pada jamannya menjadi penanda bangkitnya solidaritas bangsa-bangsa terjajah. Soekarno lewat pembedaannya atas dua jenis dunia, New Emerging Forces (Nefo) dan Old Established Forces (Oldefo), ingin membuktikan ke dunia Indonesia bukanlah bangsa bulan-bulanan yang bebas dieksploitasi. Soekarno menjadikan olahraga sebagai salah satu bentuk perlawanan akan dominasi barat. Tahun 1963 Indonesia menyelenggarakan Ganefo, Games of New Emerging Forces. Sesungguhnya perhelatan ini tidak hendak menyaingi olimpiade dunia, tapi Soekarno mencoba memberikan orientasi baru kepada generasi muda di negara-negara Nefo untuk tidak selalu berorientasi ke Oldefo yang sudah beberapa abad menguasai dunia.

Lewat olahraga pula kita dapat memahami seberapa seriusnya pemimpin kita bekerja. Lihatlah kompleks olahraga Jakabaring di Palembang. Sebulan jelang penyelenggaraan SEA GAMES, hampir semua venue masih berstatus "akan selesai". Laos yang tidak lebih "hebat" dari kita sudah merampungkan semua arena sebulan sebelum perhelatan SEA GAMES lalu dimulai. Andi Mallarangeng siap bertanggung jawab andai penyelenggaraan hajatan olahraga terbesar se-Asia Tenggara ini mundur dari jadwal yang sudah ditetapkan. Barangkali Andi lupa, kita mempertaruhkan nama Indonesia. Sedari awal pembangunan pusat olahraga itu sudah bermasalah. Pembangunan wisma atlet digerogoti Nazaruddin dan teman-temannya. 

Kembali ke Bambang Pamungkas dan kawan-kawannya. Kita acungkan jempol dengan perjuangan mereka. Bertanding setrengginas itu di antara karut-marut bangsa yang lagi kacau mendatangkan kesejukan. Kesejukan yang sesungguhnya masih menghidupkan asa di setiap dada pecinta Garuda. Dan tentu saja tak adil rasanya menyertakan pejabat-pejabat kita yang korup itu ikut-ikutan berharap banyak ke Timnas. Mereka lebih sering sebagai penumpang gelap yang menepuk-nepuk dadanya saat semuanya berjalan indah dan menghujat sebagai orang lain saat Timnas terpuruk. 

Apa yang mereka lakukan memajukan persepakbolaan? Petinggi PSSI sudah memberi lampu hijau untuk menerima lima pemain naturalisasi yang baru disumpah jadi warga negara Indonesia mengisi skuad Timnas. Dengan demikian, Stefano Janite Lillipay, naturalisasi dari Belanda, akan menemani Christian Gonzales sebagai gelandang serang. Greg Nwokolo, naturalisasi dari Nigeria, sebagai striker. Tonnie Harry Cussel Lillipay, juga dari Belanda, sebagai gelandang. Igbonefo, naturalisasi dari Nigeria, sebagai bek. Dan Jhonny Rudolf van Beukering, lagi-lagi dari Belanda, sebagai striker. Inilah cara paling singkat dan paling murah yang ditempuh mereka mendongkrak prestasi sepakbola kita yang sudah lama sekali kekeringan prestasi. 

Begitulah, harapan tak selalu terwujud di awal. Ia bisa muncul jauh di kemudian hari. Ke sanalah kita akan melangkah. Piala Dunia 2014 bukanlah Piala Dunia terakhir. Mengharapkan Timnas mengangkat piala dengan jalan menaturalisasi banyak pemain adalah solusi menyesatkan. Dan cenderung ke arah nirnasionalisme. Kita melecehkan jutaan talenta-talenta muda yang masih tak termunculkan dari ujung Aceh hingga ujung Papua.

PSSI sudah perlu memikirkan mendirikan sepak bola yang didukung penuh oleh Departemen Pendidikan. Siapa saja yang ingin serius menjadi pemain sepak bola akan berjibaku di sana tanpa perlu lagi memikirkan ujian nasional. Pemerintah tak boleh menutup mata: sepak bola sudah terlalu sering mengharumkan nama Indonesia. Dan pemerintah tak boleh pula berpura-pura tak tahu: lulusan IPDN, STAN, AKPOL, dan lain-lainnya itu, yang dibiayai penuh oleh negara itu, teramat kerap membuat kita malu. Mereka doyan korupsi. 

Apakah kita akan tampil di Piala Dunia 2014? Oh tidak, kita tak hanya membutuhkan keajaiban. Kita membutuhkan mukjijat. Mukjijat yang menjadikan para pemain Iran dan Bahrain akan bermain sangat buruk seolah-olah mereka baru saja tahu bersepak bola. Mukjijat yang menjadikan para pemain Iran dan Bahrain seolah-olah tak mempunyai rasa nasionalisme ke negaranya sehingga mereka bermain tanpa semangat bergelora. Hal yang paling wajar kita lakukan adalah melupakan 2014. Bagaimana dengan 2018? Saya kira belum saatnya. Kita akan mempercayakan kejayaan Garuda kepada mereka yang kini sedang diayun-ayun oleh bundanya, kepada mereka yang sedang dalam kandungan, kepada mereka yang bahkan belum direncanakan untuk lahir. Kenapa begitu? 

Tahun 2014 hingga 2018 masih tahun kejayaan bagi dinasti penguasa lanjutan dari dinasti yang sekarang. Selama berkuasa mereka sudah terbukti tak peduli dengan olahraga, maka tahun-tahun panjang ke depan masih jadi tahun-tahun penantian akan prestasi. Kita mesti menunggu mereka betul-betul tersingkir dari panggung perpolitikan bangsa untuk menyaksikan Timnas kita bermain sempurna di tingkat internasional. Karena memang sepak bola sangat sulit berpisah dari rezim berkuasa. Kita sangat yakin tahun-tahun setelah 2018, tahun peralihan dari dinasti sekarang, Indonesia akan dipimpin oleh mereka-mereka yang berintegritas, yang pikiran, perbuatan, dan akhlaknya berjalan segendang sepenarian. Dengan kondisi seperti itu akan memungkinkan bagi siapa pun mengekspresikan diri mencintai bangsanya tanpa perlu membonceng penumpang gelap. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar