Jalan Masih Panjang, Indonesia

Setiap kali terjadi sebuah kegagalan, kita akan selalu mendengar kalimat "kegagalan adalah sukses yang tertunda". Percayalah, kalimat itu adalah penjabaran mutlak bahwa keberhasilan memang butuh proses. Tidak bisa instan.

Ketika Indonesia kalah dari Bahrain dalam pertandingan yang sempat dihentikan wasit, kritikan menggunung. Tim memang tidak tampil dengan baik, tapi yang jadi sasaran paling keras adalah Wim Rijsbergen, sang pelatih yang usai laga tersebut juga melontarkan kritiknya kepada para pemain.

Bahrain, sesungguhnya, adalah tim dengan peringkat yang lebih baik dari Indonesia. Mereka berada di posisi 102 rangking FIFA, bandingkan dengan Indonesia yang "hanya" duduk di urutan 139. Dari pandangan paling awam, di atas kertas Indonesia memang "wajar" menelan kekalahan.

Tapi, segalanya berbeda jika sudah berbicara ekspektasi. Publik Indonesia tentu belum lupa bagaimana 'Skuad Garuda' berhasil mengalahkan Bahrain empat tahun silam di Gelora Bung Karno. Tak heran jika hasil serupa berharap bisa diulang, toh tempat digelarnya pertandingan juga sama.

Beranjak dari Bahrain, Indonesia menghadapi lawan yang tidak mudah lainnya, yakni Qatar. Terhitung, dalam enam pertemuan sejak 1986, 'Si Marun' baru satu kali berhasil dikalahkan. Sisanya, Indonesia empat kali kalah dan hanya sekali menahan imbang. Catatan kembali tidak berpihak.

Lagi-lagi ekspektasi bermain di sini. Dengan sudah dua kali menelan kekalahan, kemenangan adalah kewajiban. Rijsbergen sendiri menargetkan demikian. Ia berjanji, skuadnya bakal tampil menyerang dan berusaha penuh untuk mendapatkan tiga angka. Tapi, kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi.

Pada laga yang berlangsung Selasa (11/10/2011) malam WIB, dengan diawali guyuran hujan, Indonesia akhirnya takluk 2-3 di tangan Qatar. Indonesia memang tampil lebih baik dibanding ketika melawan Bahrain. Tim tampil lebih menyerang dan berhasil mencetak dua gol. Tapi, pada akhirnya kalah adalah kalah.

Ketika kemenangan gagal diraih, ekspektasi kembali tersakiti. Dari sana harusnya ada ruang untuk introspeksi. Ya, Indonesia seperti (lagi-lagi) diingatkan bahwa mereka harus introspeksi diri dan mulai memperhatikan sebuah hal bernama proses.

Tidak bisa instan

Ketika Rijsbergen mengatakan bakal tampil menyerang, dia juga ikut menyebutkan dengan jelas bahwa timnya bakal bermain dengan formasi ofensif 4-3-3. "Saya orang Belanda. Oleh karenanya saya suka sepakbola menyerang. Jangan heran kalau besok saya memasang delapan pemain depan untuk menggedor pertahanan Qatar," begitu katanya.

Rijsbergen kemudian menampilkan formasi tersebut semalam. Bedanya, ia tidak langsung menurunkan tiga pemain yang bertipe penyerang murni sekaligus. Hanya Cristian Gonzales dan Bambang Pamungkas yang tampil sejak awal --itu pun Bambang tidak bermain sebagai penyerang. Indonesia baru benar-benar bermain dengan tiga penyerang ketika Yongki Aribowo dimainkan di akhir-akhir babak kedua, ketika 'Tim Merah-Putih' sudah tertinggal 2-3.

Pria yang juga pernah menangani Trinidad & Tobago itu juga menurunkan lima orang bertipe bek dalam starting XI: Hamka Hamzah, Purwaka Yudhi, Zulkifli Syukur, Supardi, dan M. Roby. Purwaka dimainkan sebagai gelandang bertahan dalam pertandingan itu.

"Purwaka punya karakter bertahan yang lebih kuat. Oleh karena itu, kami mencobanya. Agar kami lebih ofensif, saya kemudian memasang satu gelandang bertipe bertahan dengan didampingi dua gelandang lain yang bertipe menyerang, yakni Firman dan Bambang," demikian penjelasan Rijsbergen mengenai alasannya memasang Purwaka.

Tapi, percobaan itu tidak sukses. Terbukti lini tengah Indonesia kerap kecolongan melalui serangan balik. Taktik ofensif Rijsbergen terpukul balik. Ketika asyik melancarkan serangan, Indonesia lengah lewat sebuah operan cepat langsung ke jantung pertahanan dan akhirnya terciptalah gol ketiga. Rijsbergen pun mengritik pertahanannya sesuai laga, walau pada kenyataannya hal tersebut tidak sepenuhnya salah pertahanan, tapi juga bocornya lini tengah yang tidak melapis dengan baik.

Rijsbergen yang menginginkan sepakbola simpel dimainkan di Indonesia seperti lupa bahwa ada yang namanya proses. Ketika dia ingin timnya bermain layaknya Barcelona --atau juga Belanda--, dia juga harus ingat bahwa pola tersebut sudah terakar dengan baik di tubuh Los Cules. Pola tersebut tidak hanya soal menempatkan pemain pada titik-titik tertentu di lapangan, tapi juga soal teknik permainan.

Pola permainan Barca sudah tertanam di akademi mereka, La Masia, yang juga diprakarsai maestro sepakbola Belanda Johan Cruyff. Para pemain mereka sudah dibiasakan untuk berinteraksi dengan permainan, pergerakan cepat, dan operan-operan akurat sehingga terciptalah permainan dengan penguasaan bola di atas rata-rata. Pertanyaannya, sudah siapkah hal tersebut diterapkan pada permainan Indonesia?

Lini tengah Indonesia semalam memang bermain lebih baik ketimbang ketika menghadapi Bahrain. Beberapa tekanan berhasil diciptakan karena sejumlah operan yang dilepaskan. Namun, tidak semuanya akurat. Beberapa kali operan Firman Utina dkk. meleset dari sasaran dan akhirnya malah jatuh ke kaki pemain Qatar.

Sering melihat Lionel Messi-Xavi Hernandez-Andres Iniesta salah oper? 

Peran federasi, PSSI jangan sungkan dikritik

Di luar sisi teknik permainan, yang berisi pelatih, strategi, dan para pemainnya, jangan lupakan sisi non-teknis seperti federasi dan juga kompetisi yang disusunnya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa timnas yang bagus juga dibentuk dari kompetisi yang bagus pula. Tanya saja dengan tetangga terdekat seperti Jepang ataupun Korea Selatan.

Untuk contoh yang lebih jauh, Jerman mungkin bisa dijadikan penggambaran. Ketika menangani timnas Jerman di Piala Dunia 2006, Jurgen Klinsmann tidak terlalu memberatkan permainan pada pemain bintang tertentu. Karena setelah melakukan pemantauan pemain, Klinsman tak menemukan satu, dua atau tiga pemain bintang yang akan cukup kuat mengangkat tim. 

Setelah menentukan konsep permainan yang mereka inginkan, Klinsman dan Joachim Loew --yang ketika itu menjadi asistennya-- kemudian membawa konsep mereka kembali ke DFB. Yang unik adalah, DFB atas permintaan Klinsman kemudian mensosialisasikan pola permainan yang akan dimainkan oleh tim nasional kepada semua anggota Bundesliga. 

Proses serupa dikabarkan juga dilakukan oleh beberapa negara Eropa lainnya. Federasi Sepakbola Spanyol atau Real Federacion Espanolla de Futbol (RFEF) juga meminta kepada tim nasional untuk remaja, di bawah usia 17, 19 dan 21 tahun memainkan pola yang sama dengan tim senior yang sudah memenangi Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010. 

Di sana, proses telah memberikan hasil dan kemudian mengilhami dan melahirkan proses yang lainnya. Begitu terus secara berulang-ulang.

Jika Indonesia ingin bermimpi jauh --dan jangan salah paham, punya mimpi itu bagus adanya-- maka sebaiknya dimulailah proses itu. PSSI sebagai federasi tentunya harus paham mengenai hal ini. Dan oleh karenanya jangan sungkan dikritik, terutama untuk hal-hal yang menyangkut pelaksanaan kompetisi.

Seperti diketahui, pelaksanaan kompetisi Liga Indonesia musim ini kerap menjadi perdebatan. Mulai dari banyaknya tim yang berlaga sampai format kompetisi menjadi perdebatan yang sangat lama. Butuh proses tarik-ulur panjang untuk menentukan klub mana saja yang berhak ikut kompetisi level teratas musim depan. Masalah makin rumit karena ada polemik kepemilikan di beberapa klub.

Imbasnya, kompetisi telat bergulir, pemain kekurangan laga kompetitif, fisik pemain pun jadi menurun. "Ini memang masalah buat kami. Sudah lima bulan tak ada kompetisi di sini. Semoga pada tanggal 15 Oktober liga akan dimulai," ujar Bepe semalam.


www.detiksport.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar